PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai
seseorang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa, dan juga terlibat dengan
dua budaya, seorang dwibahasawan tentulah tidak terlepas dari akibat-akibat
penggunaan dua bahasa itu. Salah satu akibat dari kedwibahasaan adalah adanya
tumpang tindih antara kedua sistem bahasa yang dipakainya atau digunakannya
unsur-unsur dari bahasa yang satu pada penggunaan bahasa yang lain.
Sosiolinguistik
merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan lingustik, dua bidang ilmu
empiris yang mempunyai kajian yang sangat erat. Sosiologi berusaha mengetahui
bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Sedangkan
linguistik adalah bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya Chaer
dkk,(2010: 2). Menurut pandangan sosiolinguistik, bahasa mengandung berbagai
macam variasi sosial yang tidak dapat dipecahkan oleh kerangka teori
struktural, dan terlalu naif bila variasi-variasi itu hanya disebut performansi.
Menurut
konsepsi sosiolinguistik struktur masyarakat yang selalu bersifat heterogen
(tidak pernah homogen) mempengaruhi struktur bahasa. Adapun struktur masyarakat
di sini dipengaruhi oleh bebrapa faktor, seperti siapa yang berbicara (who
speaks), dengan siapa (with whom), di mana (where), kapan (when),
dan untuk apa (to what end) Wijana
dkk, (2010: 5). Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau
menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam
masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai
individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial.
Chaer via
Dittmar (1976: 128) mengatakan bahwa tujuh dimensi yang merupakan masalah dalam
sosiolinguistik itu adalah (1) identitas social dari penutur, (2) identitas
sosiala dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan
sosial tempat pristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari
dialek-dialek sosial, (5) penilaian social yang berbeda oleh penutur akan
prilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan
(7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. Seseorang pembicara atau
penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau
“manfaat” dari tindakannya itu, perubahan situasi bicara dapat menyebabkan
terjadinya alih kode.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan diteliti
dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
1.
Apasajakah
yang melatarbelakangi terjadinya campur kode dan alih kode dalam siaran radio
Yasika FM ?
2.
Apasajakah
campur kode yang terdapat dalam siaran radio Yasika FM?
C.
Tujuan
1. Mendeskripsikan
latar belakang terjadinya campur kode dan alih kode dalam siaran radio Yasika
FM.
2. Mendeskripsikan
campur kode dan alih kode yang terdapat dalam siaran radio Yasika FM.
D.
Manfaat
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberi
jawaban atas masalah yang pokok dalam penyusunan makalah, serta diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat
Praktis
Penelitian ini secara teoritis
bermanfaat untuk mengembangkan ilmu bahasa (sosiolinguistik) khususnya pada
penelitian campur kode dan alih kode (kajian sosiolinguistik). Penelitian ini
juga dapat dijadikan sebagai pedoman
penelitian yang akan datang, tentunya dengan penelitian yang relevan
dengan penelitian ini.
2. Manfaat
Praktis
Manfaat secara praktis dari hasil
penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran terhadap penelitian-penelitian
yang sudah ada menegnai campur kode dan alih kode (Kajian sosiolinguistik),
sehingga dapat dijadikan referensi. Dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak
yang tertarik atau berkecimpung di dunia linguistik. Dan menambah khasanah
pustaka pada Universitas Ahmad Dahlan.
BAB II
KAJIAN TEORI
1.
Pengertian
Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur
menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan
unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur,
seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena
keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga
ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Campur kode
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
2. Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal
dari bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi
dua, yaitu
1. sikap (attitudinal type)
latar belakang sikap penutur
latar belakang sikap penutur
2. kebahasaan(linguistik type)
latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode,
1. penyisipan kata,
2. menyisipan frasa,
3. penyisipan klausa,
4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode,
1. penyisipan kata,
2. menyisipan frasa,
3. penyisipan klausa,
4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
Dalam keadaan
bilingual, penutur ada kalanya mengganti unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur,
hal ini tergantung pada konteks dan situasi berbahasa tersebut. Misalnya, pada
waktu berbahasa X dengan si A, datang si B yang tidak dapat berbahasa Y memasuki
situasi berbahasa itu, maka kita beralih memakai bahasa yang dimengerti
oleh si B. Kejadian semacam ini kita sebut alih kode.
Nababan (1991:
31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu
kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam
lain, misalnya ragam akrab; atau dari dialek satu ke dialek yang lain; atau
dari tingkat tutur tinggi, misalnya kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang
lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya. Kridalaksana (1982: 7)
menegaskan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan
peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode.
Alih kode dapat
terjadi pada masyarakat bahasa bilingual atau multilingual, namun juga terjadi
pada masyarakat bahasa monolingual. Pada masyarakat bilingual atau
multilingual, alih kode dapat terjadi dari varian bahasa yang satu ke varian
bahasa yang lain. Faktor-faktor penyebab alih kode dapat ditelusuri melalui
keterkaitan suatu pembicaraan dengan konteks dan situasi berbahasa.
Hymes (1964)
mengemukakan faktor-faktor dalam suatu interaksi pembicaraan yang dapat
mempengaruhi penetapan makna, yaitu:
a.
siapa pembicara atau bagaimana pribadi
pembicara
b.
di mana atau kapan pembicaraan itu berlangsung
c.
apa modus yang digunakan
d.
apa topik atau subtopik yang dibicarakan
e.
apa fungsi dan tujuan pembicaraan
f.
apa ragam bahasa dan tingkat tutur yang
digunakan
Dari berbagai
sudut pandang tersebut di atas, alih kode dapat dibagi menjadi empat bagian,
yaitu:
a.
Jenis alih kode : alih bahasa, alih ragam
bahasa, alih tingkat tutur;
b.
Tataran alih kode: tataran fonologi, tataran
fonem, tataran kata atau frase;
c.
Sifat alih kode: alih kode sementara,alih kode
tetap atau permanen;
d.
Faktor penyebab alih kode: pribadi pembicara,
hubungan pembicara dengan mitra pembicara, topik atau subtopik.
2.
BATASAN CAMPUR KODE
Kridalaksana
(1982; 32) memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan
satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa
atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan,
dan sebagainya.
Nababan
(1989:32) menegaskan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang
mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa
yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian
penutur dan/atau kebiasaanya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut
campur kode. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode.
Ciri yang menonjol dari campur kode ini adalah kesantaian atau situasi
informal. Kalau terdpat campur kode dalam keadaan demikian, hal ini disebabkan
karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga
perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).
Sifat campur
kode dibedakan antara interferensi dengan kalimat integratif. Interferensi
merupakan masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang belum diserap,
jadi bersifat sementara. Kalimat integratif merupakan masuknya unsur suatu
bahasa ke dalam bahasa lain dn diserap, jadi bersifat tetap atau permanen
(Beardsmore,1982: 44)
Haugen dan
Beardsmore (1982: 46) melaporkan bahwa kebanyakan hasil penelitian menunjukkan
bahwa unsur nomina paling mudah bercampur dari satu bahasa ke dalam bahasa
lain, sedangkan struktur atau fungsi bahasa agak sukar mengalami campur kode.
Selanjutnya, Haugen dan Beardsmore (1982: 46) melaporkan bahwa unsur bahasa
yang mudah bercampur setelah nomina adalah verba, adjektiva, adverbial, preposisi
dan interjeksi; sedangkan pronomina dan artikel menunjukkan kekokohan untuk
tidak bercampur dengan unsur bahasa lain.
Seperti halnya
alih kode, campur kode juga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang:
·
Jenis campur kode: campur bahasa, campur ragam,
campur tingkat tutur.
·
Tataran campur kode: tataran fonem, tataran
morfem, tataran kata atau frasa, tataran kalimat.
·
Sifat campur kode: campur kode sementara,
campur kode tetap atau permanen.
3.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN TUJUAN MELAKUKAN
ALIH KODE ATAU CAMPUR KODE
Beberapa faktor
penyebab terjadinya alih kode atau campur kode dipengaruhi oleh konteks dan
situasi berbahasa yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Pembicara dan Pribadi Pembicara
Pembicara kadang-kadang sengaja beralih kode
terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu.
Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode
antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi
formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat
ruang dan waktu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode bahasa satu ke
dalam bahasa yang lain karena kebiasaan.
b.
Mitra Bicara
Mitra bicara dapat berupa individu atau
kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula
menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra
bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang
bawahan yang berbicara dengan seorang atasan mungkin menggunakan bahasa
Indonesia dengan disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat
tuturnya tinggi dengan maksud untuk menghormati. Sebaliknya, seorang atasan
yang berbicara dengan bawahan mungkin menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi
kata-kata daerah (Jawa ngoko) yang memiliki tingkat tutur rendah dengan maksud
untuk menjalin keakraban. Pertimbangan mitra bicara sebagai orang ketiga juga
dapat menimbulkan alih kode jika orang ketiga ini diketahui tidak dapat
menggunakan bahasa yang mula-mula digunakan kedua pembicara. Misalnya,
pembicara dan mitra bicara menggunakan bahasa Jawa beralih kode menggunakan
bahasa Inggris karena hadirnya seorang penutur Inggris yang memasuki situasi
pembicaraan.
c.
Tempat Tinggal dan Waktu Pembicaraan
Berlangsung
Pembicaraan yang terjadi di sebuah terminal bus
di Indonesia, misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Dalam
masyarakat yang begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak alih kode dan
campur kode. Alih bahasa atau campur kode itu dapat terjadi dari bahasa yang
satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat
tutur bahasa yang lain. Seorang penjual karcis bus di sebuah terminal yang
multilingual pada jam-jam sibuk beralih kode dengan cepat dari bahasa satu ke
dalam bahasa yang lain dan juga melakukan campur kode atau bahasa.
d.
Modus Pembicaraan
Modus pembicaraan merupakan sarana yang
digunakan untuk berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon,atau
melalui audio visual) lebih banyak menggunakan ragam non-formal dibandingkan
dengan modus tulis (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya
menggunakan ragam formal. Dengan modus lisan lebih sering terjadi alih kode dan
campur kode daripada dengan menggunakan modus tulis.
e.
Topik
Dengan menggunakan topik tertentu, suatu
interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur kode
dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi
formal dengan menggunakan ragam formal. Topik non-ilmiah disampaikan dalam
situasi “bebas”, “santai” dengan menggunakan ragam non-formal. Dalam ragam
non-formal kadang kadang terjadi “penyisipan” unsur bahasa lain, di samping itu
topik pembicaraan non-ilmiah (percakapan sehari-hari) menciptakan pembicaraan
yang santai. Pembicaraan yang santai juga dapat menimbulkan campur kode.
f.
Fungsi dan Tujuan
Fungsi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan
didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang
berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan, mengumumkan,
memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut fungsi yang
dikehendakinya sesuai dengan konteks dan situasi komunikasi. Alih kode dapat
terjadi karena situasi dipandang tidak sesuai atau tidak relevan. Dengan
demikian, alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi
kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
g.
Ragam dan Tingkat Tutur Bahasa
Pemilihan ragam dan tingkat tutur bahasa banyak
didasarkan pada pertimbangan pada mitra bicara. Pertimbangan ini menunjukkan
suatu pendirian terhadap topik tertentu atau relevansi dengan situasi tertentu.
Alih kode dan campur kode lebih sering timbul pada penggunaan ragam non-formal
dan tutur bahasa rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa tinggi.
BAB III
PENGAMBILAN DATA
A.
Teknik
Pengambilan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode simak yaitu pemerolehan data primer dengan cara menyimak siaran radio
tersebut. Metode simak yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak
dengan tidak berpartisipasi. Dalam hal inipeneliti menyimak siaran Yasika FM dengan
tidak ikut dalam proses pembicaraan. Peneliti menyimak siaran dalam waktu
sehari yaitu tanggal 21 juni 2012 Peneliti mendengarkan siaranYasika FM Jogja,
kemudian merekam semua siarannya dengan bantuan taperecorder.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dibatasi pada tuturan penyiarnya saja.
Campur kode dan alih kode yang terdapat pada lagu tidak termasuk dalam
penelitian ini.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
disesuaikan dengan metode yang digunakan. Metode simak menggunakan teknik
lanjutan berupa (1) teknik rekam dengan menggunakan alat bantu tape recorder
(2) teknik catat pada kartu data. Yang dimaksud teknik catat adalah
mengadakan pencatatan data yang relevan dan sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian.
Data yang telah diperoleh dengan teknik pengumpulan data di atas ternyata belum
teratur, untuk itu perlu diadakan pengaturan atau pengelompokan terhadap data
tersebut.
B.
Teknik
Analisis Data
Penganalisisan data penelitian menggunakan metode analisis
deskriptif. Istilah deskriptif ini mengacu bahwa penelitian yang dilakukan
semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang memang secara
empiris hidup, sehingga yang dihasilkan berupa pemerian bahasa yang sifatnya
seperti potret. Pemerian yang deskriptif ini tidak mempertimbangkan benar
salahnya penggunaan bahasa oleh penuturnya. Setelah data dianalisis dengan
analiisis deskriptif kemudian diadakan penyimpulan hasil penelitian.
TABEL I
Radio Yasika FM Yogyakarta (gelombang 95,4 MHz)
NO
|
Data Primer
|
Data
Sekunder
|
1.
|
“
lagunya saya play untuk kalian yang tetep setia bersama Yasika FM the
most wanted”
|
Play
(mainkan), the most wanted (yang paling dinanti)
|
2.
|
“Yang
mau share di facebook atau di twitter silahkan di add
atau di follow..”
|
Share(berbagi),
follow(ikuti)
|
3.
|
“buat
yang request lagu Umberella Rihana, sudah Aura putar ”
|
Request(meminta)
|
4.
|
“Chart
untuk minggu ini masih dipegang oleh.. ”
|
Chart(grafik)
|
5.
|
“ini
lagu dinyanyikan Momo Geisha Featuring Aril, ukie, reza”
|
Featuring(bersama)
|
6.
|
“tetap
stay turn bersama Yasika Fm, Viera bersamamu”
|
Stay
turn(tetap di)
|
7.
|
“yang
mau dengerin lagu-lagu yang hits sambil istirahat siang sok atuh”
|
Hits,
sok atuh(silahkan)
|
8.
|
“anyway
jangan kemana-mana karna momo akan kembali lagi so dengerin yang satu
ini”
|
Anyway
(ngomong-ngomong), so (jadi)
|
9.
|
“Positif
thinking aja terhadap sesuatu”
|
Thinking(berfikir)
|
10.
|
“Aura
Mendez, ketahuan jebule mung promosi”
|
Ketahuan
jebule mung promosi
|
11.
|
“ini
lagu best new release”
|
Best
new release (yang terbaru)
|
12.
|
“saling
memafkan saja, ojo malah angel memaafkan ya buat Tia yang ada di
serandakan”
|
Ojo
malah angel (jangan menyulitkan)
|
13.
|
“Yasika
Fm cool station”
|
Cool
station(stasiun radio keren)
|
14.
|
“Popo
akan umumin artist of the week juara American Idol“
|
Artist
of the week (artis minggu ini), American Idol
|
15.
|
“pastinya
tetep happy monday bersama popo cusain”
|
Happy
Monday(senin ceria)
|
16.
|
“saatnya
Popo undur diri sugeng dalu, good night Yasika Fm”
|
Sugeng
dalu, good night(selamat malam)
|
Jumlah
|
Kata
9
Frase
10
|
BAB IV
PEMBAHASAN
Terjadinya campur kode pada tuturan penyiar radio Yasika Fm “The Most
Wanted” memang tidak dapat dihindarkan, hal ini disebabkan karena para penyiar
adalah termasuk dwibahasawan Selain menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu,
mereka juga menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan beberapa
bahasa asing sebagai bahasa internasional. Hal tersebut berdampak munculnya
serpihan-serpihan bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa jawa dalam
tuturan bahasanya. Sebenarnya setiap bahasa mempunyai wilayah pemakaian
sendiri-sendiri, tetapi dalam perjalanan sejarahnya telah terjadi perubahan
wilayah bahasa itu. Sebuah bahasa wilayahnya ada yang meluas adapula yang
menyempit, bahkan adapula yang hilang dan menjadi wilayah bahasa lain. Semenjak
bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional, perkembangan bahasa ini
makin pesat.
Pengaruh bahasa Indonesia tersebut juga terasa pada pemakaiaan
bahasa Inggris dimana kosakata bahasa Indonesia, jawa, sunda banyak diganti
dengan kosakata bahasa Inggris pada hal dalam bahasa Jawa sebenarnya kosakata
tersebut tersedia. Seperti yang terjadi pada tuturan penyiar acara Yasika FM “
The Most Wanted”, dimana para penyiarnya mengganti begitu saja kosakata-kosakata
bahasa Indonseia dengan bahasa Inggris, lalu kosakata bahasa Indonesia diganti
bahasa jawa. Hal tersebut disebabkan karena dalam benak para penyiar sudah
mempunyai konsep bahasa Indonesia bukan bahasa Jawa. Konsep-konsep ini muncul
karena pengaruh pemakaian bahasa Indonesia yang semakin meluas ke segala aspek.
Campur kode terdiri dari dua jenis yaitu campur kode ke dalam dan campur kode
ke luar. Campur kode ke luar adalah campur kode yang berasal dari bahasa asing,
sedangkan campur kode ke dalam adalah campur kode yang bersumber dari bahasa
asli dengan segala variasinya. Campur kode yang ditemukan adalah campur kode ke
dalam dan campur kode ke luar. Campur kode ke dalam berupa bahasa Indonesia
sedangkan campur kode ke luar berupa bahasa Inggris
v
Campur
Kode ke Dalam
Contoh campur kode ke dalam dapat
dilihat sebagai berikut:
(1) yang mau dengerin lagu-lagu yang hits sambil istirahat siang
sok atuh
(2)
saling
memafkan saja, ojo malah angel memaafkan ya buat Tia yang ada di
serandakan.
(3)
Aura
Mendez, ketahuan jebule mung promosi
Pada data di atas terdapat campur kode pada kata “sok atuh” (frasa),
“ojo malah angel” (klausa), ketahuan “jebule mung promosi (klausa)” itu merupakan bahasa jawa dan sunda.
Terjadinya campur kode dalam bentuk di atas disebabkan karena situasi yang
informal atau intens dengan menyesuaikan siapa lawan komunikasinya. Penyiar
selain menggunakan bahasa jawa yaitu bahsa ibu sendiri, Ia juga menggunakan
bahasa sunda yang disisipkan dalam siarannya.
v
Campur
Kode ke Luar
contoh campur kode ke dalam dapat
dilihat sebagai berikut:
(1)
lagunya
saya play untuk kalian yang tetep setia bersama Yasika FM the most
wanted”
(2)
Yang
mau share di facebook atau di twitter silahkan di add atau
di follow..”
(3)
buat
yang request lagu Umberella Rihana, sudah Aura putar
(4)
Chart untuk minggu ini masih dipegang oleh..
(5)
ini
lagu dinyanyikan Momo Geisha Featuring Aril, ukie, reza
pada data di atas merupakan contoh
sebagian campur kode ke luar terdapat kata “play”, “request”, “chart” penyiar
menggunakan kata-kata tersebut untuk menunjukkan keintelektualan seorang
penyiar dan dianggap kata-kata tersebut cocok untuk digunakan dalam siaran
radio.
BAB V
PENUTUP
Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tuturan penyiar acara The
Most Wanted radio Yasika FM terdapat peristiwa alih kode dan campur kode baik
sebagai akibat dari adanya kontak bahasa dan situasi bilingualism. Terjadinya
alih kode dan campur kode tersebut tidak dapat dihindari karena penutur yang
terlibat merupakan dwibahasawan atau multibahasawan. Hasil penelitian ini
mendukung teori tentang penggunaan bentuk-bentuk bahasa untuk komunikasi
praktis harus dilihat unsur lain yang melekat yaitu unsur makna, pesan atau
isi.
Hal ini sangat penting karena orang dapat dikatakan berhasil
berkomunikasi apabila dapat memenuhi pemakaian bahasa yang didukung unsur lain
dari bahasa. Semuga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan
kepada pembaca tentang penggunaan alih kode dan campur kode dalam komunikasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Nababan, P.W.J.
1986. Sosiolinguistik:
Suatu Pengantar . Jakarta: PT. Gramedia.
Rahardi,
Kunjana. 2001. Sosiolingustik Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Chaer, Abdul.
2010. Sosiolinguistik perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
PP. Giolooli
(Ed).Kridalaksana, Kristen. 1986. The Linguistics Encyclopedia .
Beardsmore,
Hugo Baetens. 1982. Bilingualisme: Basic Principles.