KEMEGAHAN KERETA KASULTANAN NGAYOGYAKARTA
Museum
Kereta terletak dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, yakni di sebelah barat daya Alun-alunUtara atau tepatnya di Jalan
Rotowijayan. Museum ini secara administratif terletak di wilayah Kelurahan
Kadipaten, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta, Provinsi D.I Yogyakart
kereta-kereta tersebut dulu adalah kendaraan
Kraton, untuk kepentingan Kraton ataupun pribadi. Di Kraton ini banyak
menyimpan kereta-kereta yang tidak ditemui ditempat yang lain yang memiliki
kekhasan tersendiri. Keberadaan museum kereta tersebut telah dirintis pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Di dalam museum ini memiliki 23
kereta yang berusia puluhan sampai ratusan tahun. Kereta tersebut ada pula yang
masih digunakan dalam upacara-upacara besar, dan adapula yang sudah tidak
dipakai karena faktor usia kereta dan sejarah dari kereta tua
tersebut.
Masing-masing
kereta tersebut memiliki nama-nama yang unik, yang penamaannya dilakukan
menurut dengan kepercayaan orang-orang jawa akan adanya roh atau kekuatan pada
tiap benda, selain itu penamaan dilakukan karena kereta-kereta tersebut telah
banyak berjasa dan telah dianggap sebagai pustaka Kraton. Kereta-kereta milik Kraton
tersebut masing-masing diberi nama dan
memiliki kegunaan tersendiri. Mengunjungi museum kereta Kraton Yogyakarta berarti menengok sejarah perjalanan Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Kereta-kereta yang di dalam museum disebut “kareta” tersebut menjadi artefak dari
berbagai peristiwa penting Kraton Yogyakarta maupun keadaan teknologi yang
dipakai oleh Kraton pada saat itu. Selain itu, kereta-kereta tersebut juga
menunjukkan kerjasama diplomatik Kraton dengan dunia luar.
Berdasarkan
bentuknya, kereta-kereta milik Kraton dibagi menjadi tiga jenis. Yang pertama
adalah kereta atap terbuka dan beroda dua, contohnya dari kereta jenis ini adalah
kereta Kapolitan. Jenis kedua adalah kereta atap terbuka dan beroda empat,
misalnya Kyai Jongwiyat dan semua kereta yang menggunakan nama Landower. Jenis
ketiga adalah kereta atap tertutup dan beroda empat, misalnya Nyai Jimat, Kyai
Garudayaksa, dan Kyai Winamaputra.
Bentuk kereta juga membedakan fungsi dan
penggunaanya. Kereta jenis ini digunakan oleh Sultan untuk kendaraan rekreyasi.
Jenis kedua digunakan oleh beberapa kelompok terpandang seperti para pegawai
sultan, rombongan penari Kraton, dan para komandan prajurit Kraton. Yang ketiga
adalah kereta khusus sultan dan keluarganya. Kyai Ratapralaya yang dibuat
dikampung Rotowijayan adalah kereta jenazah khusus bagi sultan yang sudah
mangakat. Dalam sejarahnya, kereta ini baru digunakan dua kali. Sebagai pusaka Kraton, kereta-kereta tersebut
juga mendapat penghormatan berupa acara Jamasan. Jamasan adalah kegiatan
memandikan, memberi ”makan” dengan makanan berupa sesaji, dan mendoakan
semua benda pusaka. Jamasan pusaka Kraton selalu jatuh pada selasa kliwon atau
jum’at kliwon pertama, tiap bulan suro (bulan pertama dalam kalender jawa). Upacara Jamasan pusaka Kraton Yogyakarta
berlangsung di dua tempat, yaitu di Gedong Pusaka dan di Museum kereta Kraton
Yogyakarta. Pelakasanaan Jamasan pusaka
di Museum kereta hanya untuk kereta pusaka. Upacara tersebut dipimpin sesepuh
abdi dalem Kraton yang bertugas menjaga museum tersebut. Kereta yang wajib
dijamasi tiap tahun adalah kereta Nyai Jimat. Kereta
Nyai Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan Hamengku Buwono I sampai
dengan Sultan Hamengku Buwono IV dianggap sebagai sesepuh kereta-kereta yang lain. Kereta buatan Belanda tahun 1750-an ini merupakan
pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel. Secara ringkas, bila disusun
berdasar tahun pembuatan atau pembeliannya, kareta-kareta tersebut dirinci
sebagai berikut.
1. Kareta
Kanjeng Nyai Jimat. Kerata ini merupakan
pusaka Kraton, dibuat oleh Belanda pada tahun
1750. Kereta ini adalah hadiah
dari Spanyol yang pada saat itu sudah memiliki hubungan dagang dengan pihak
kerajaan. Kereta ini digunakan sebagai alat
transportasi sehari-hari oleh Sri Sultan
Hamengku
Buwono I-III. Kereta ini ditarik
oleh delapan ekor kuda. Kondisi seluruhnya masih asli. Pegas kereta ini terbuat
dari kulit kerbau. Setiap tahun, pada bulan Suro (Muharram), dilakukan
upacara pemandian untuk kereta ini .
2. Kareta
Mondro Juwolo. Kereta ini adalah kereta yang dipakai oleh
Pangeran Dipenogoro. Catnya sudah diperbarui
pada saat diadakannya Festival Kraton Nusantara. Kereta ini dibuat oleh Belanda
tahun 1800 dan ditarik
oleh enam ekor kuda.
3. Kareta
Kyai Manik Retno. Kereta ini dibeli pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV, tahun 1815. Kereta ini dibuat oleh Belanda. Kereta ini digunakan oleh sultan
bersama dengan permaisuri. Kereta untuk
pesiar ini ditarik oleh empat ekor kuda.
4. Kareta
Kyai Jolodoro. Kereta ini dibuat Belanda pada tahun 1815 dan merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Kereta Jolodoro adalah
kareta pesiar (dari kata “Jolo” yang berarti menjaring, dan“Doro” yang berarti gadis). Pengendali atau sais berdiri di belakang. Kereta ini ditarik empat ekor kuda.
5. Kareta
Kyai Wimono Putro. Kereta ini dibeli pada
masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, tepatnya tahun
1860. Digunakan pada saat upacara pengangkatan putra mahkota. Kereta ini kondisinya
masih asli (warna kayu). Kereta ini ditarik
oleh enam ekor kuda.
6. Kareta
Garudo Yeksa. Kereta ini dibuat oleh Belanda pada tahun 1861, yaitu pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Kereta ini digunakan untuk
penobatan seorang sultan. Kereta ini ditarik delapan ekor kuda
yang sama
warna dan jenis kelaminnya. Kereta ini juga disebut Kareta Kencana (kareta
emas). Semua yang ada di kereta ini masih asli
termasuk simbol/lambang burung garuda yang terbuat dari
emas 18 karat seberat 20 kg. Lapisan emas tersebut jika digosok
atau dibersihkan akan terkikis. Oleh karena itu kereta ini hanya dibersihkan
menjelang saat akan digunakan saja.
Konon
sekitar 6-7gram emas akan hilang setiap kali digosok/dibersihkan. Mahkotanya terbuat dari
kuningan dan puncaknya
berbentuk seperti Tugu Monas. Konon, Soekarno memang menggunakan bentuk mahkota ini untuk membuat
desain Tugu Monas. Desain kereta datang dari Sri
Sultan Hamengku Buwono I. Uniknya, apabila pintu kereta dibuka, maka akan ada tangga turun dengan sendirinya seperti yang sering
dijumpai pada pintu-pintu pesawat terbang. Pengendali kuda hanya satu orang. Kereta ini masih dipakai
sampai sekarang.
7. Kareta
Kyai Harsunaba. Kereta ini merupakan sarana
transportasi sehari-hari dari masa Sri Sultan Hamngku Buwono VI-VIII. Kereta ini dibeli pada
tahun 1870 dan ditarik oleh empat ekor kuda.
8. Kareta
Kyai Jongwiyat. Kereta ini dibuat di Den Haag, Belanda, pada tahun 1880. Kereta ini adalah peninggalan
Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan digunakan untuk manggala yudha atau dalam peperangan, misalnya untuk memeriksa barisan prajurit
dan sebagainya. Sri Sultan Hamengku Buwono VII
adalah sultan yang paling banyak melakukan peperangan dengan Belanda. Kareta
ini ditarik oleh enam ekor kuda. Pada saat Sri Sultan Hamenguku Buwono X
menikahkan putrinya, kareta ini kembali digunakan.
Beberapa bagian dari kareta ini sudah mengalami renovasi, misalnya warna cat
yang sudah diganti menjadi kuning.
9. Kareta
Roto Biru buatan Belanda pada tahun
1901, tepatnya pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Kereta ini dinamakan
Roto Biru karena didominasi
oleh warna biru cerah yang melapisi kereta sampai ke
bagian rodanya. Dipergunakan untuk manggala yudha bagi panglima perang. Pada saat Hamengku Buwono X
menikahkan putrinya, kareta ini digunakan untuk mengangkut besan mertua. Kareta
ini ditarik oleh 4 ekor kuda.
10. Kareta Kus Sepuluh. Kereta ini adalah kereta buatan
Belanda pada tahun 1901, yaitu pada masa Sri Sultan HB VIII. Aslinya adalah kereta Landower dan bisa
dipergunakan untuk pengantin. Cat aslinya yang berwarna hijau sudah diganti
menjadi kuning dan dipercayai mengandung makna politis (warna salah satu
parpol) pada saat dilakukan pengecatan ulang. Walaupun bisa digunakan sebagai kereta pengantin, namun pada acara pernikahan putri Sri Sultan Hamenku Buwono X yang
baru lalu kareta ini tidak dipakai oleh mempelai.
11. Kareta Kus
Gading. Kereta ini dibeli pada
masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Kereta ini buatan
Belanda pada tahun 1901 dan ditarik oleh empat ekor kuda.
12. Kyai Rejo
Pawoko. Kereta ini dibuat pada tahun 1901 pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan diperuntukkan
sebagai sarana transportasi bagi adik-adik Sultan. Kereta ini ditarik
oleh empatekor kuda.
Konon kereta ini dibeli
bersamaan dengan lahirnya Bung Karno, yakni pada tahun 1901.
13. Kareta
Landower. Kareta ini dibuat oleh Belanda pada jaman
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada
tahun 1901. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda.
14. Kareta
Landower Wisman. Kereta ini dibeli dari
Belanda pada tahun 1901, yakni pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Kereta ini pernah direnovasi
pada tahun 2003. Kereta ini digunakan sebagai sarana transportasi pada
saat sultan melakukan
penyuluhan pertanian, kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda.
15. Kareta
Landower. Kereta ini dibeli pada masa
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1901. Kereta ini buatan
Belanda. Dahulu kereta ini sempat
dipamerkan di Hotel Ambarukmo. Kereta ini ditarik
oleh empat ekor kuda.
16. Kareta
Premili. Kareta ini dirakit di Semarang pada tahun 1925 dengan suku cadang yang
didatangkan langsung dari
Belanda. Kereta ini digunakan
untuk menjemput penari-penari Kraton. Kereta yang ditarik
oleh empat ekor kuda ini, pada salah satu bagian rodanya tertulis
“G.Barendsi”.
17. Kareta Kyai Kutha Kaharjo, Kereta ini dibeli pada jaman pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan dibuat di Berlin pada tahun
1927. Digunakan untuk mengiringi acara-acara yang diselenggarakan oleh Kraton, kereta ini ditarik
oleh empat ekor kuda.
18. Kareta
Roto Praloyo. Kereta ini merupakan kareta jenazah
yang dibeli pada masa Sri Sultan HB VIII pada tahun 1938. Kereta inilah yang membawa
jenazah Sultan Hamengku Buwono IX dari Keraton menuju Imogiri. Kereta ini ditarik
oleh 8 ekor kuda.
19. Kareta
Kyai Jetayu. Kereta ini dibeli pada masa Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1931. Kereta yang diperuntukkan
sebagai alat transportasi bagi putri-putri Sultan yang masih
remaja ini, ditarik oleh empat ekor kuda
dengan pengendali yang langsung berada di atas kuda.
20. Kareta
Kapulitin. Merupakan kareta untuk pacuan
kuda/bendi. Kereta dibeli pada jaman
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang
memang menggemari olah raga berkuda. Kareta ini hanya ditarik oleh seekor kuda
saja.
21. Kareta
Kyai Puspoko Manik. Kareta ini dibuat di Amsterdam, Belanda. Kereta ini digunakan
sebagai sarana pengiring
acara-acara Kraton termasuk untuk pengiring pengantin. Kereta ini ditarik
oleh empat ekor kuda.
22. Kareta
Landower Surabaya. Kareta ini sudah dipesan dari
masa Sri Sultan HB VII namun baru bisa dipakai pada
saat masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Kereta ini buatan Swiss dan
digunakan sebagai sarana transportasi penyuluhan pertanian di Surabaya.
23. Kyai Noto
Puro. Kereta ini dibuat di Belanda
pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Kereta ini digunakan untuk aktivitas dalam
peperangan. Saat ini bentuk fisiknya sudah
mengalami renovasi. Kereta ini ditarik
oleh empat ekor kuda.
Kareta-kareta tersebut setiap
tahun dibersihkan melalui ritual yang disebut Jamasan. Yang menarik, tiap kali dilaksanakan Jamasan, Kereta Nyai
Jimat harus selalu ditemani oleh sebuah kereta lain. Kereta yang menemani dipilih secara
bergantian tiap tahunnya. Dalam acara Jamasan itu, semua yang terlibat dalam upacara harus laki-laki dan
mengenakan pakaian adat Yogyakarta lengkap dengan surjan dan
blangkon. Karena unik dan hanya terjadi setahun sekali, upacara tradisional ini
tentu bisa menjadi atraksi tersendiri bagi turis.
Selain
prosesi upacara, ada satu hal lagi yang unik dan menarik. Selama
prosesi jamasan itu, banyak penonton yang umumnya kaum tua berdesakan di sekitar kereta pusaka. Mereka menunggu dengan sabar
untuk memperoleh air bekas mencuci kereta, yang dalam bahasa setempat sering
diistilahkan sebagai “ngalap berkah”.
Hingga sekarang, masih banyak warga yang percaya bahwa air bekas cucian kereta
berkhasiat memberikan kesuburan bagi sawah, panjang umur, serta kesehatan.
Bahkan tak sedikit yang membasuh wajah dengan air bekas cucian kereta yang
mereka kumpulkan dari got di sekitar tempat upacara. Tetapi secara ilmiah, semua
itu sulit untuk diterima oleh akal, tapi semua itu adalah kepercayaan
masing-masing orang yang percaya akan mitos-mitos seperti itu. Dan warisan
budaya ini perlu dijaga kelestariannya, agar kereta-kereta yang memiliki nilai
dan historis yang tinggi ini tetap terjaga keindahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar